Meneguhkan Martabat Profesi Advokat: Jalan Terjal Menuju Kualitas, Integritas, dan Persatuan

Shalih Mangara Sitompul

By: Shalih Mangara Sitompul

Shalih Mangara Sitompul

Profesi advokat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan keadilan dan melindungi hak-hak warga negara. Namun, di tengah ekspektasi luhur tersebut, realitas di lapangan menunjukkan bahwa profesi ini justru mengalami degradasi yang mengkhawatirkan. Fenomena menjamurnya advokat dengan kompetensi yang diragukan menjadi ironi dalam sistem penegakan hukum kita. Pendidikan yang semestinya menjadi fondasi profesionalisme, kerap kali terjebak pada rutinitas administratif dan orientasi formalitas belaka.

Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mendasar bagi kita semua: sampai kapan publik harus membiarkan pembiaran sistemik ini terus terjadi? Di satu sisi, masyarakat membutuhkan bantuan hukum yang berkualitas, namun di sisi lain, banyak advokat lahir dari sistem rekrutmen yang ala kadarnya. Rekrutmen advokat, meliputi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), Ujian Profesi Advokat (UPA), dan Magang yang seharusnya menjadi tahap krusial untuk membentuk kompetensi, hanya bisa diupayakan untuk membentengi calon advokat dari salah pemahaman dalam praktik hukum, belum jauh membangun pondasi dasar intelektual hukum dan integritas calon advokat sebagai penegak hukum melalui kurikulum yang “ideal” dibutuhkan.

Celakanya, degradasi ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan sudah menjadi problem struktural dalam tubuh profesi advokat. Banyak organisasi advokat berjalan sendiri-sendiri dengan sistem yang tidak seragam, masing-masing mengklaim legitimasi, namun abai terhadap kebutuhan reformasi internal yang nyata. MultiBar yang dianut saat ini justru menjadi medan kompetisi sektoral, bukan kolaborasi profesional. Alih-alih memperkuat kualitas, fragmentasi organisasi hanya memperlebar jurang antara advokat idealis dan advokat oportunis.

Padahal, secara normatif, Indonesia telah memiliki fondasi hukum untuk memulai pembenahan. Permenristekdikti Nomor 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) secara tegas mengatur bahwa PPA adalah program pendidikan profesi yang idealnya diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memenuhi kualifikasi tertentu. Regulasi ini memberi peluang untuk meningkatkan kualitas pendidikan advokat secara sistemik, terukur, dan berbasis akademik. Kurikulum bisa disesuaikan dengan perkembangan hukum modern, termasuk etika profesi, kemampuan litigasi, dan soft skill advokasi. Namun, lagi-lagi, keberhasilan regulasi ini sangat bergantung pada keberanian organisasi advokat dan dunia pendidikan hukum untuk keluar dari zona nyaman dan mulai menata ulang sistem rekrutmen advokat secara serius.

Implementasi Pendidikan Profesi Advokat (PPA) yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi, dengan dukungan aktif dari organisasi advokat (OA), merupakan langkah strategis yang tidak hanya meningkatkan kualitas calon advokat, tetapi juga membuka ruang bagi konsolidasi organisasi advokat menuju sistem Single Bar. Ketika PPA dijalankan berdasarkan standar akademik yang objektif dan dikawal bersama oleh seluruh elemen profesi, maka tercipta mutu dan integritas profesi. Dengan menjadikan perguruan tinggi sebagai titik temu yang netral dan profesional, serta memperkuat peran OA sebagai mitra pembinaan dan pengawasan, maka sekat-sekat sektarian antar organisasi akan melebur secara alami menuju satu kesatuan visi. Dalam jangka panjang, skema ini akan membentuk fondasi kolektif yang kokoh bagi realisasi sistem Single Bar, karena OA bergerak dalam satu ekosistem pendidikan dan rekrutmen yang sama, berbasis mutu, bukan afiliasi kelembagaan.

Pembenahan profesi advokat juga mensyaratkan kesamaan persepsi di antara para advokat dan organisasinya. Kita tidak bisa membiarkan sistem perekrutan advokat berjalan secara terpecah-pecah. Harus ada standardisasi menyeluruh mulai dari tahap pendidikan, pengujian, magang, hingga pengangkatan sebagai advokat. Tanpa persepsi dan standar bersama, maka mustahil profesi ini bisa menjawab tantangan zaman dan menjawab kepercayaan publik. Saling menjaga standar tidak hanya penting untuk kepentingan internal profesi, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat pengguna jasa hukum.

Dalam konteks inilah, ide penerapan Single Bar System kembali mengemuka sebagai solusi strategis untuk menyatukan sistem perekrutan dan pengawasan profesi advokat. Dalam sistem Single Bar, hanya ada satu wadah profesi advokat yang diakui negara, dengan satu standar pendidikan, satu mekanisme pengujian, dan satu sistem pengawasan etik. Sistem ini telah diterapkan di banyak negara dengan tujuan memperkuat integritas, mengefisienkan pengawasan, dan menghindari konflik kepentingan antarlembaga profesi.

Tentu kita tidak naif, bahwa membentuk Single Bar di Indonesia bukan perkara mudah. Ada kepentingan organisasi yang selama ini telah mapan, ada ego historis yang sulit dikompromikan. Namun demikian, kita harus menegaskan bahwa kesatuan sistem bukan berarti keseragaman politik atau organisasi, melainkan bentuk konkret dari upaya bersama menjaga martabat dan kualitas profesi. Single Bar tidak akan berhasil jika tidak dimulai dari niat baik, dari keberanian untuk memotong rantai sektarianisme internal, serta dari komitmen kolektif untuk menjadikan profesi advokat sebagai profesi hukum yang benar-benar dihormati.

Sebagai profesi yang sejajar dengan hakim, jaksa, dan polisi, advokat tidak boleh dipandang sebagai pelengkap penderita dalam sistem peradilan. Profesi ini memiliki mandat konstitusional untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan, bahwa warga negara tidak berhadapan sendirian dengan kekuasaan, dan bahwa hukum dijalankan bukan hanya sebagai alat negara, tetapi juga sebagai perlindungan rakyat. Untuk itu, advokat harus hadir sebagai sosok profesional, cerdas, berintegritas, dan mandiri. Semua ini hanya bisa dicapai jika proses rekrutmen dan pembinaan advokat dikelola secara serius sejak awal.

Selain itu, dalam kerangka penegakan sistem hukum yang tertib dan profesional, keberadaan satu organisasi advokat yang sah dan diakui negara menjadi sangat penting untuk menjaga integritas profesi. Oleh karena itu, jika kita benar-benar berkomitmen terhadap sistem Single Bar, maka “pengakuan” terhadap status advokat seyogianya hanya diberikan kepada mereka yang diangkat melalui organisasi yang secara legal dan konstitusional telah ditetapkan, yakni PERADI. Dalam perspektif hukum yang objektif dan demi menjamin kepastian hukum, mereka yang diangkat di luar mekanisme organisasi resmi tersebut tidak dapat disebut atau diperlakukan sebagai advokat dalam arti yang sah dan utuh. Ini bukan soal rivalitas kelembagaan, melainkan soal menegakkan standar dan aturan main yang berlaku secara adil dan konsisten, sebagaimana diputuskan berulang kali oleh Mahkamah Konstitusi. Tanpa sikap tegas ini, maka semangat Single Bar hanya akan menjadi slogan tanpa arah.

Menjadi advokat bukan sekadar soal “nyali”, “relasi”, dan “kecerdasan oportunis”, sebagaimana dicemaskan dalam berbagai kritik internal profesi. Menjadi advokat adalah kehormatan — kehormatan yang hanya bisa dijaga jika sistemnya ditegakkan, jika organisasi berjalan dengan akuntabilitas, dan jika setiap individu dalam profesi ini menjadikan keadilan sebagai kompas moral dan profesionalnya.

Sudah saatnya kita sebagai bagian dari profesi ini berhenti menuding dan mulai membenahi. Kita perlu bergerak dari retorika menuju pembaruan nyata. Rekrutmen profesi advokat harus dirombak dan harus dijaga kualitasnya. Organisasi harus menanggalkan egonya. Dan kita semua harus satu suara dalam keyakinan: bahwa advokat bukan pelengkap sistem hukum, tapi penjaga keadilan itu sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *